UNTAIAN SYUKUR
kutulis antologi gemercik air dalam sungai hidupmu
dalam senandung indahmu dan rangkaian dukamu
aku tahu nada-nada lagumu telah mendendangkan
sayap-sayap merpati mengepak membawa impian
dan melesat ke ujung langit
burung-burung malam mencari untaian syukurmu
yang masih terbelenggu dalam kekosongan
tidakkah kausambut dalam galian semangatmu
untuk meluruskan jalan ke samudra biru
sedang layar tuntunan pun telah lama
memanggil-manggil perahu kita
untuk mensyukuri segala yang telah kita terima
SEBUAH PERJALANAN
kupuisikan sanggulmu di lembar kertas hati
bersama daun kehidupan tertiup angin
membawa lagu merpatimu jauh pergi
senantiasa kaubela rintihan kebayamu
mengubah awan hitam berselimut tangisan batu
menjadi putih kapas
percik cahaya dari suara rantingmu
mengharap memetik bintang-bintang
teruslah setia
sepejalan denganku
SEBUAH KENANGAN
langkah sunyiku tersendat di ujung angin
membungkam suara cinta di lorong tua
mengembuskan wajah layu di pangkuan masa
kemudian merampas syair padang senja
tempatku selama ini merangkakkan angan-angan surga
kesunyian ini mengundang kenangan purba
membawa gemericik air rindu
meraba-raba di antara goresan duka
SUATU KETIKA
ketika kubuka lembar hari-hariku kembali
kutahu senja itu kautaburkan pahit bulan lelah
yang menuntun renungan asap kiblat
mengumpulkan wajah surya
meludah mangsa yang bertumpu derita
tak juga kau bertanya
mengapa kautuangkan dosa lagi
pada jiwa yang semakin terjepit
memenjarakan suara-suara padang
yang mengingatkan pada siksa
yang tertulis lewat batu-batu nisan
suatu ketika kau akan membuka mata
menumbuhkan benih suara nuranimu
lalu menderu ke segenap penjuru
SAJAK SUARAMU
malam dalam derap suaramu
membuka jurang menganga
menutup mata kalbu
malam bintang telah hilang dari kendali
nakhoda membisu beku
meratapi hari-hari palsu
yang membelenggu
suaramu tak lagi pagi
kaubiarkan mengering
jadi abu
PAGIKU
bulan telah menghentikan perjalanan sinar
menyalin kisahnya dalam penantian fajar
menulis sajak dalam buku harian
yang berkali-kali hujan lelah mengusik mukanya
mataku membangkit langit dari bias malam
menerawang gema kata peneduh
mendaki atmosfir di antara naungan anugerah
kunyalakan lentera menerangi bentang kelir sandiwara
lalu kugulungkuburkan dalam pagiku menjelang
(Hanik Luluk Anifah, Teater Asba SMP Negeri 23 Purworejo, Jawa Tengah, 2004-2005)