Cerita Anak Ifanatul Khasanah: Cahaya Bulan dan Nina

CAHAYA BULAN DAN NINA

Matahari siang bertengger di keluasan langit. Sinarnya yang begitu terik membuat Bulan dan Nina melambatkan langkah mereka. Secara tiba-tiba, dua orang lelaki bertubuh tinggi besar dan wajah menyeramkan menghentikan langkah mereka saat berjalan di jalan tak beraspal yang jauh dari pemukiman penduduk di desa tempat tinggal famili jauh  dari pihak ibunya Bulan.

“Bulan, lihat di situ ada preman,” kata Nina kepada Bulan.

“Hah… dua laki-laki itu….” kata Bulan.

“Ada apa dengan laki-laki itu, Lan? Kamu kenal mereka?”

“Aku tidak mengenalnya, tadi malam aku bermimpi kalau kita diculik terus dibawa ke hutan di ujung jalan sana. Wajah penculiknya hampir sama dengan dua laki-laki itu. Aku takut mimpi itu benar-benar terjadi, Nin,” cerita Bulan sambil menunjuk sebuah hutan di ujung jalan.

“Terus bagaimana kelanjutannya dan untuk apa kita diculik?”

“Aku tidak tahu. Karena setelah itu aku dibangunkan ibuku.”

Mereka mulai mencurigai dua laki-laki itu. Tetapi mereka tetap tenang dan waspada. Kemudian dua laki-laki itu mendekati dua bocah kecil yang masih berusia delapan tahun itu. Bulan dan Nina hanya bisa menunduk dan tidak berani menatap bola mata kedua laki-laki di depan mereka.

“Adik kecil, kalian tidak perlu takut kepada kami. Kami tidak akan berbuat jahat kepada kalian. Kami hanya ingin bertanya. Di mana letak perbatasan desa ini dengan desa sebelah? Kalau kalian mau mengantarkan kami, kami berjanji akan memberi kalian permen. Bagaimana?” tanya salah seorang di antara dua lelaki tersebut.

“Mari, Om, kami antarkan!” kata Bulan.

Kecurigaan yang semula bertakhta pada diri kedua bocah itu, sekarang menjadi lepas dan tersapu oleh rayuan kedua lelaki itu. Bulan dan Nina berjalan di depan kedua lelaki itu dan kedua lelaki itu berjalan di belakang Bulan dan Nina sambil terus mengawasi dua bocah itu. Tiba-tiba mereka membungkam mulut Bulan dan Nina dengan sapu tangan yang telah ditetesi cairan pembius.

Bulan dan Nina mencoba memberontak, tapi dua lelaki itu terlalu perkasa untuk dilawan. Bulan pingsan. Sementara itu Nina masih memberontak. Pikirannya masih bisa berjalan normal untuk mencari cara menyelamatkan diri. Tanpa berpikir lebih panjang lagi, Nina menggigit tangan laki-laki yang membungkam mulutnya.

“Aughh!” Lelaki itu mengerang kesakitan. Bungkaman terlepas. Nina segera berlari dan mencari tempat untuk bersembunyi. Langkahnya terhenti dan otak cerdasnya mulai berjalan. Dia melihat botol-botol bekas minuman mineral tertumpuk di sekitar semak-samak. Lalu Nina mengambilnya dan melempar-lemparkan ke tengah jalan. Salah satu lelaki yang tadi membungkam Bulan, segera membawa Bulan ke markas dan lelaki yang satunya mengejar Nina. Pada  saat berlari ia tidak memperhatikan dan tidak tahu jika Nina memasang jebakan. Ia pun terpeleset dan jatuh. Terlihat ada seulas senyum di bibir Nina.

Dengan tenaga yang tersisa, Nina tetap berlari menyeberangi sungai dan masuk ke hutan karena jalan yang baru saja dilewatinya buntu. Nina terpaksa masuk ke hutan karena takut penculik itu akan menemukan dirinya. Dalam hatinya ia agak menyesal, kenapa ia mau diajak berlibur oleh Bulan ke desa terpencil tempat tinggal famili jauhnya Bulan itu. Sebenarnya di sisi hatinya yang lain, ia suka petualangan. Tanpa ia sadari, dia sudah terlalu jauh memasuki hutan tersebut.

Hari telah menyambut petang, tapi Nina belum juga berhasil menemukan jalan keluar. Suasana hutan yang sunyi membuat Nina takut. Untunglah di langit bertengger bulan bulat menerangi bumi seisinya. Tapi, karena ia sangat lelah akhirnya dia beristirahat dan tertidur di atas batu besar yang diapit oleh dua batang pohon yang tumbang.

“Gadis kecil, kenapa kamu malam-malam ada di sini? Pulanglah. Berjalanlah mengikuti matahari, maka kamu akan menemukan jawabannya. Kakek pergi dulu.”

“Kakek, kakek mau ke mana? Kakek jangan pergi! Nina takut di sini sendiri Kek, Kakek…..” jerit Nina terbangun.

“Aku mimpi… kenapa aku ada di sini? Dan Bulan… hah dia diculik. Bagaimana aku menyelamatkannya? Bagaimana aku keluar dari hutan ini? Dan siapa Kakek berjubah putih dalam mimpiku? Kenapa kakek itu menyuruhku untuk mengikuti matahari?”

Seribu pertanyaan bertunas di pikirannya. Nina tertunduk lesu, pipinya menggelincirkan tetesan air mata. Perut yang lapar dan bibir kering karena haus tidak ia hiraukan. Tangannya menengadah ke atas sambil berdoa,

“Ya Allah….hanya Engkau Maha Penyelamat. Selamatkanlah hamba dari segala gangguan ya Allah. Semoga petunjuk kakek yang datang dalam mimpi hamba adalah petunjukMu, ya Allah. Semoga juga hamba dapat menemukan dan menyelamatkan Bulan ya Allah. Kabulkanlah doa hamba ya Allah. Amiin….”

Fajar menyambut Nina. Di ufuk timur cahaya matahari begitu indah menerobos sela-sela batang pohon. Nina bangkit dan mulai mengayunkan kakinya. Ia berjalan ke arah barat. Terus berjalan. Sering ia harus menyingkirkan semak-semak berduri untuk membuat jalan. Matahari sudah melampaui kepala. Arahnya condong ke barat daya. Nina terus mengikuti arah matahari sesuai kata-kata kakek dalam mimpinya. Nina berhasil keluar dari hutan. Kemudian ia menelusuri jalan setapak di pinggir sungai.

Meskipun matahari semakin jelas ke barat daya, Nina masih berjalan. Sampai akhirnya, dia menemukan sebuah bangunan sederhana semacam gudang. Tetapi ketika Nina akan mendekati gudang itu, Nina melihat dua lelaki keluar dari gudang dan duduk di depan gudang. Nina pun mengurungkan niatnya mendekati gudang itu.

“Lelaki itu sepertinya orang yang kemarin menculik Bulan dan gagal menculikku. Berarti Bulan ada di dalam gudang itu. Aku harus menunggu di sini sampai petang nanti, supaya mereka tidak tahu kalau aku akan menyelamatkan Bulan.”

Setelah malam datang, Nina mengendap-endap memasuki gudang itu.  Nina berhasil memasuki gudang itu, ternyata dua lelaki itu sedang berpesta narkoba di dalam gudang. Di samping kedua lelaki itu duduk, terdapat sebuah ruangan dan di ruangan itu Bulan berada. Di ruangan itu juga terdapat gadis-gadis kecil seumur Bulan dan Nina. Nina berhasil masuk ruangan tempat Bulan berada ketika dua lelaki itu teler.

“Bulan.”

“Nina, untung kamu datang. Tadi aku mendengar percakapan mereka. Mereka bicara bahwa aku dan teman-teman di sini akan dijadikan pengemis di jalanan. Setelah dewasa, kami akan dijadikan pelacur. Aku takut, Nin. Mereka juga bilang kalau kami akan dijual.”

Isak tangis Bulan dan Nina membuat semua yang berada di ruangan itu terharu dan ikut mengeluarkan air mata.

“Mereka datang Nin. Cepat kamu pergi!”

“Tidak. Aku tidak akan pergi jika kamu tetap di sini. Penderitaanmu adalah milikku juga. Ayo kita melarikan diri bersama! Lalu, kita minta pertolongan polisi dan kembali ke sini untuk membebaskan yang lainnya.”

“Baiklah.”

Mereka berhasil keluar. Tapi…sesampainya di luar Nina terjatuh. Dua penculik itu mendengarnya dan mereka keluar.

“Tunggu Bulan.”

“Kamu kenapa?”

“Kakiku…kakiku berdarah. Mungkin terkena duri atau ranting pohon.”

“Ayo aku gendong.”

“Jangan! Kamu tidak akan kuat belari sambil menggendongku. Cepat kamu pergi mencari pertolongan. Mereka sudah semakin dekat. Cepat pergi, Bulan!!!”

“Tidak, aku tidak akan pergi.”

“Kamu harus pergi. Jika kamu tidak pergi, kita akan di sini selamanya. Biarkan aku saja yang menggantikan kamu di gudang itu. Tolonglah Bulan!! Demi kita dan  teman-teman kita di gudang tadi. Para penculik itu jahat, Bulan. Mereka harus dilaporkan ke polisi. Cepat, tinggalkan aku. Aku akan menyusulmu. Jika aku tertangkap, cepat kamu saja yang lapor ke polisi!”

Dengan berat hati Bulan pun pergi. Berlari kencang. Sementara itu, Nina tertangkap dan diseret kembali ke gudang. Bulan kembali ke rumah famili ibunya. Dengan bantuan familinya itu, ia pun segera ke kantor polisi kecamatan. Setelah lapor dan menceritakan semuanya, Bulan bersama familinya dan polisi datang ke gudang itu. Dua penculik dan sekaligus pemakai narkoba itu di tangkap. Gadis-gadis kecil dibebaskan dan mereka dikembalikan kepada orang tua masing-masing oleh polisi.

Bulan dan Nina dapat bertemu kembali. Mereka bangga karena telah dapat menyumbangkan upaya turut memberantas kejahatan. Keesokan harinya setelah mengobati luka-luka kaki Nina di Puskesmas setempat, Bulan dan Nina pulang ke kota. Mereka diantar oleh Pak Kepala Polisi sampai ke rumah mereka masing-masing.

***

(Ifanatul Khasanah, Teater Asba SMP Negeri 23 Purworejo, Jawa Tengah, 2006)

Tulislah Komentar Anda